Kamis, 12 Desember 2013

ANTARA RATAP DAN SYUKUR (Renungan Atas Bencana Sinabung)

Antara Ratap dan Syukur

















ANTARA RATAP DAN SYUKUR
(Sebuah Renungan Atas Meletusnya Gunung Sinabung)
Pdt. Albert Purba, M.Th


I. Pengantar
 
“Kenapa Orang Saleh Juga Menderita?” tulis Rabi Harold Kushner, seorang rohaniwan Yahudi yang merasakan pedihnya penderitaan ketika anak lelakinya Aaron meninggal dunia pada umur 11 tahun. Kematian merupakan hal biasa, namun bagi keluarga Rabi Kushner, kematian ini tidak tertanggungkan karena sebelum matinya Aaron mengidap penyakit progeria yang membuatnya kelihatan seperti kakek (bulang-bulang) berumur 100 tahun padahal umurnya baru 11 tahun. Penyakit ini langka, terjadi hanya 1 diantara 8 juta kelahiran. Tetapi kenapa harus Aaron? Pengalaman pahit ini dituliskan Rabi Kushner dalam buku dengan judul tersebut di atas. Bukunya laris dan dibaca banyak orang, dia memperoleh banyak uang, dia menjadi kaya namun tetap saja dalam hatinya selalu muncul ketidakpuasan dan kekosongan serta pertanyaan yang tak terjawabkan. Beliau kembali menulis buku yang berjudul Berlimpah Namun Gersang.

Kehidupan manusia selalu berhadapan dengan sebuah ketidakpastian atau paradoks. Di atas penderitaan bisa muncul sukacita dan bisa juga sebaliknya. Demikianlah hidup manusia, selalu berada dalam ketegangan dua sisi yang berbeda: suka dan duka, derita dan bahagia, berkat dan bencana, ratap dan tawa. Kenapa semua ini terjadi? Apakah karena dosa atau kehendak Allah?

II. Memahami Penderitaan

2.1. Pengalaman Ayub 

Dia seorang saleh, dia diberkati Allah dengan harta dan anak-anak namun dalam sekejap semua jungkir balik. Ayub terjungkal dari kekayaan, kemasyuran dan kemewahan kepada nestapa, penderitaan tak tertahankan. Ternaknya, anak-anaknya, pesuruh-pesuruhnya habis, lenyap tak berbekas dan yang lebih parah lagi istrinya juga mengutuk dirinya dan Allah yang dia sembah. Ayub berusaha bertahan dalam iman katanya, “TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” (Ayub 1:21). Kini yang tersisa bagi Ayub hanya iman percayanya kepada Allah, namun semuanya itu belum selesai. Kedatangan teman-temannya tidak meringankan beban namun menambah sarat dan berat bebannya. Iman yang adalah harta dan pertahanan terakhirnya kembali dirongrong oleh teman-teman itu. Bagi mereka semua kejadian yang menimpa Ayub adalah akibat dosanya, untuk itu Ayub harus bertobat dan minta ampun kepada Tuhan (Ayub 4:6; 8:2-7; 15:34-35).

Teman-teman Ayub ini merupakan kaum cerdik pandai yang mewakili orang saleh, teolog dan ahli filsafat yang meyakini bahwa hanya satu hukum yang berlaku di muka bumi bahwa kesalehan berupahkan berkat dan kejahatan menuai bencana. Cara berpikir ini memang sangat nyata dalam sebuah aliran teologi dalam Perjanjian Lama. Aliran ini dikenal dengan sebutan Mazhab Deuteronomis, disebut demikian karena garis besar pemikiran teologi mereka kentara sekali di dalam Kitab Ulangan (Deuteronomi) yang selalu memperhadapkan berkat dan kutuk, kehidupan dan kematian. Pengaruh teologi ini juga nampak tegas di dalam pesan-pesan para nabi yang melihat bahwa kejatuhan bangsa Israel dan pembuangan mereka ke Asyur dan Babel adalah akibat dosa serta ketidaksetiaan kepada Allah. Pemikiran mazhab (aliran) ini mendapat tentangan dari penulis Kitab Ayub yang menyatakan bahwa penderitaan bukan semata-mata akibat dosa.

2.2. Berita Penghukuman Dan Penghiburan Dari Para Nabi
 
Para nabi kerap menghardik orang Israel ketika mereka menyimpang dari tuntutan Taurat. Hardikan itu tidak hanya bagi rakyat jelata namun juga Raja Daud misalnya dihardik dan dikutuk oleh Nabi Natan karena merampas Batsyeba dari Uria. Daud harus menderita kehilangan anak yang dikandung Batsyeba dan keluarganya selalu dibayangi pertumpahan darah. Demikian juga dengan Raja Ahab yang licik dan culas merampas kebun anggur Nabot dihukum dengan kematian dan kereta perangnya dicuci di pemandian para pelacur.

Salah seorang nabi yang tegas dan lugas memberitakan penghukuman atas dosa ialah Amos. Teologi Deuteronomis yang sangat tradisional sangat kental dan kentara di dalam kitabnya, seperti yang nampak dalam Amos 5:11 yang berbunyi: “Sebab itu, karena kamu menginjak-injak orang yang lemah dan mengambil pajak gandum daripadanya, sekalipun kamu telah mendirikan rumah-rumah dari batu pahat, kamu tidak akan mendiaminya; sekalipun kamu telah membuat kebun anggur yang indah, kamu tidak akan minum anggurnya”

Dalam sebahagian besar kitab para nabi tema berkat dan kutuk diajarkan berbarengan namun demikian sekalipun Tuhan murka terhadap umat-Nya selalu saja ada pengharapan akan sebuah zaman baru, yaitu zaman di mana dosa tidak menjadi halangan Tuhan mengasihi umat-Nya. Pesan yang keras dan pedas yang disampaikan para nabi tidak pernah dilakukan Allah demi hukuman itu sendiri namun selalu ada kesempatan untuk kembali memasuki persekutuan akrab dengan Allah. Setelah hukuman Allah selalu menawarkan berkat dan rahmat.

2.3. Yesus Dan Larangan Untuk Menghakimi Orang Yang Menderita
 
Pada suatu ketika, Yesus diberitahu bahwa orang Galilea dibunuh Pilatus dan darah mereka dicampur Pilatus dengan korban yang mereka persembahkan. Yesus bereaksi dengan menyatakan jangan serta merta memvonis orang-orang Galilea tersebut berdosa. Dan Yesus juga mengingatkan bahwa kecelakaan yaitu runtuhnya menara Siloam dan menewaskan delapan belas orang tidak relevan dengan persoalan dosa seolah-olah kedelapan belas orang tersebut lebih berdosa dari siapapun. (Lukas 13:1-5).
 
Pada lain kesempatan Yesus ditanyai oleh murid-murid ketika mereka melihat seorang buta sejak lahir, kata mereka, “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” Jawab Yesus: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia”  (Yoh 9:2-3).
 
Melalui kedua nats ini kita melihat bahwa Yesus tidak mau menjadi hakim atas penderitaan orang lain dan bagi Yesus tidak relevan membicarakan dosa dan penghukuman Allah di atas penderitaan orang lain. Karena dengan berbuat demikian seseorang dapat jatuh ke dalam kesombongan rohani dan bahkan mendahului Allah dalam rencana dan keputusannya yang tersembunyi bagi manusia.

III. Gunung Sinabung Sebagai Kutuk Dan Rahmat?
 
Selama ini Tanah Karo dikenal sebagai tanah subur dan “surga” untuk berbagai jenis tanaman pangan. Tanah Karo juga dikenal sebagai pemasok bahkan pengekspor berbagai komoditas pangan ke berbagai daerah dan luar negeri. Selama ini orang Karo menaikkan syukur dan puji kepada Allah yang Maha Rahmat atas semua kekayaan alamnya. Selama ini orang Karo bangga karena ada dua gunung yang terkenal di Sumatera Utara dan kedua berada di Tanah Karo. Keberadaan kedua gunung berapi ini pasti menjadi faktor pendukung bagi kesuburan tanahnya; keberadaan kedua gunung ini menjadi salah satu faktor utama penggerak ekonomi Karo yang berbasis pertanian dan sedikit pariwisata. Sungguh sangat beruntung menjadi orang Karo dan bermukim di Taneh Karo Si Malem.
 
Namun kini masihkah tanah ini Taneh Karo Si Malem setelah Gunung Sinabung meletus? Bila Sinabung telah meletus maka kapan kiranya Sibayak menyusul? Ada apa dengan kejadian ini? Kenapa harus meletus sekarang? Apa makna di balik penderitaan akibat letusan gunung ini? Apakah semua ini terjadi karena orang Karo telah kelebihan dosa? Atau selama ini telah terlalu sombong dengan kekayaan alamnya? SEMUA PERTANYAAN INI TAK MUDAH MENJAWABNYA DAN TAK AKAN DAPAT DIJAWAB TUNTAS!
 
Sekalipun tidak dapat dijawab dengan tuntas, kejadian ini dapat dimaknai dengan setidaknya dua pemaknaan:

1. Di pihak kita (Gereja), kejadian meletusnya Gunung Sinabung memanggil kita untuk menjadi mata, tangan, kaki dan wajah serta hati Allah terhadap sesama yang dirundung kalut dan kemelut. Gereja ada untuk menyatakan bahwa Allah ada dan hadir baik sebelum, saat terjadi dan sesudah letusan Sinabung. Seperti Allah yang selalu berdiri di pihak korban demikianlah suara korban letusan Sinabung memanggil dan berseru kepada kita. Karya Pastoral Gereja (seperti yang selama ini dilaksanakan) pada saatnya akan menjawab pertanyaan yang tidak terjawab dengan kata-kata dan rumus filsafat atau teologi.

2. Di pihak lain, letusan Sinabung, hujan vulkanik mungkin saat ini kelihatan sebagai bencana atau monster yang menyeramkan yang pada satu ketika meluluhlantakkan semua yang telah dibangun. Tapi di saat yang bersamaan, bukankah hujan vulkanik ini adalah juga “hujan berkat” bagi Taneh Karo? Bukankah bersama letusan itu, sekalipun dalam bentuk api dan abu, terdapat juga pupuk dan mineral lain untuk kesuburan tanah yang selama ini telah terlalu dipaksa dengan pupuk hasil pabrik? Bukankah setelah Sinabung meletus mata Indonesia bahkan dunia tertuju ke Taneh Karo? Pada saatnya bencana di mata kita saat ini akan dimaknai berkat di masa mendatang!

Letusan Sinabung merupakan “Berkat tersembunyi” (Blessing in disguise) yang saat ini mungkin kita ratapi tapi kelak penduduk Karo khususnya di sekitar Sinabung akan mensyukurinya. Sinabung merupakan ratap dan sekaligus syukur kita. Sinabung merupakan bagian dari misteri Allah kepada kita dan untuk itu kita hanya bisa mengucap: “Amin ya amin!”

Kirim Komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar